Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

NAIK KELAS (Part 1)

Ketika mendengar kata "Naik kelas", maka yang terbayang dalam pikiran kita adalah berpindahnya seseorang dari kelas yang lebih rendah ke kelas yang lebih tinggi. Dengan lebih singkat bisa dikatakan bahwa naik kelas adalah naik dari kelas satu ke kelas dua, dari kelas dua naik ke kelas tiga, dari kelas tiga naik ke kelas empat dan seterusnya. Biasanya format 1, 2, 3 digunakan di SD/MI dan juga dipakai di Pondok Pesantren untuk mengambarkan gabungan tingkatan kelas setingkat SMP/MTs dan SMA/MA.


Di dalam KBBI ditulis bahwa naik kelas berarti berganti kelas dari kelas yang lebih rendah ke kelas yang lebih tinggi -sesuai dengan urutan angka- setelah memenuhi urutan nilai (2005 : 772). Artinya, bahwa seseorang -katakanlah siswa- bisa naik kelas setelah siswa tersebut terlebih dahulu memenuhi semua persyaratan yang ditentukan oleh sebuah lembaga pendidikan atau sekolah/madrasah dan perguruan tinggi.

Tentu persyaratan itu bukan hanya berkaitan dengan aspek kognitif saja, tapi juga berkaitan dengan aspek-aspek lainnya yang sebenarnya merupakan aspek utama, seperti aspek konatif atau akidah dan tauhid, aspek afektif atau akhlak dan terakhir adalah aspek psikomotorik atau yang berhubungan dengan aspek fisik. Kedua aspek sebagaimana disebutkan di atas yaitu aspek konatif dan afektif, seharusnya menjadi aspek utama dalam proses kenaikan kelas seorang siswa.

Dalam konteks pendidikan tinggi tidak dikenal istilah naik kelas, meskipun sebenarnya formatnya ya naik kelas. Karena dalam pengejawantahannya perguruan tinggi menggunakan sistem SKS atau sistem kredit semester. Artinya, ketika seorang mahasiswa bisa menyelesaikan sejumlah SKS dalam semester tertentu dan tidak ada yang bermasalah, maka mahasiswa yang bersangkutan bisa melangkah ke semester yang lebih tinggi. Tapi apabila kemudian seorang mahasiswa bermasalah dalam sebuah MK -katakanlah begitu- atau bahkan banyak MK maka yang bersangkutan harus mengulang MK yang bermasalah pada semester yang akan datang dengan tetap naik semester, atau bisa juga mahasiswa tersebut mengikuti semester pendek atau SP dengan membayar sesuai dengan ketentuan masing-masing perguruan tinggi di luar SPP atau UKT.

Dalam konteks pendidikan tinggi, terutama sekolah pascasarjana atau program pascasarjana, naik kelas bukan hanya berhubungan dengan perpindahan dari satu semester ke semester yang lebih tinggi dan kepribadian yang harus sudah matang dalam aspek konatif, afektif dan psikomorik.
Namun titik tekan pada aspek kognitif dalam skala yang lebih luas dan dalam harus benar-benar mengakar. Tradisi keilmuan dalam diri seorang mahasiswa pascasarjana harus sudah tertanam kuat yang dengannya bisa tumbuh dan berkembang. Atau dengan kalimat yang berbeda, bahwa tradisi belajar yang tingkatannya terdiri dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan yang tertinggi evaluasi (Ainurrahman dalam Zuhri, 2016: 51-52) harus benar-benar-benar sudah mengakar dalam dirinya.

Begitu juga dengan kemampuan literasi atau membaca dan menulis yang harus benar-benar menjadi habit dalam diri mahasiswa, terutama mahasiswa pascasarjana dan alumninya. Maka kemudian menjadi aneh ketika kita melihat ada mahasiswa dan alumninya yang tidak suka membaca dan menulis. Hal itu disebabkan karena sebenanya dunia perguruan tinggi dan mahasiswa adalah dunia literasi atau membaca dan menulis.

Jangan sampai kenaikan kelas, dalam tanda kutip kenaikan strata sosial sebagai kaum terpelajar tidak berbanding lurus dengan kemampuan yang seharusnya kita miliki dan sebutan yang melekat dalam diri kita sebagai sarjana, master dan lain sebagainya, karena ketidakmampuan kita dalam bidang literasi dan tidak memiliki tradisi belajar yang baik. Wallahu a'lam.

Ditulis secara "Ngemil" sambil menguji proposal tesis tadi pagi dan selesai jam 22.18.
20 Dzul-Hijjah 1443 H.

Posting Komentar untuk "NAIK KELAS (Part 1)"